cerita-cerita sore hari

Lewat pukul lima sore, hujan pertama baru merampungkan tetesnya. Udara kering berganti udara lembab. Matahari muncul lagi, langit sudah sedikit lebih terang. Kaca-kaca gedung bertingkat dan atap-atap seng perumahan penduduk kembali mengkilap. Got-got kembali berair, dan katak sudah boleh keluar sarang.
Hadi cuma menghela nafas panjang. Dipandangnya gadis-gadis pirang yang menjinjing sepatu hak tinggi di trotoar, menghindari genangan hujan. Tampak pula seorang ibu muda yang mengancingkan sweater yang membungkus badan anaknya, menyetop taksi, lalu pergi. Di seberang jalan, seekor kucing merapatkan badan ke dinding rumah yang pintu-jendelanya tertutup rapat-rapat.

“Mau pesan apa, Dik?”
Cappucinno, satu”.
“Ada lagi?”
“Punya korek?”
Pelayan paruh baya berkumis tebal itu mengangguk, lalu pergi ke belakang. Hadi kembali memandang ke luar, yang ada cuma mobil-mobil yang melintas di aspal basah, tak pula berkesan. Ia pun mengalihkan pandangan ke dalam ruangan cafe. Sepi. Cuma seorang lelaki muda bermuka kusut yang khusuk membaca koran di meja pojok, juga sepasang kekasih yang berpegangan tangan di meja sebelahnya. Sore-sore begini biasanya ramai pengunjung, namun tidak kali ini. Barangkali karena hujan.
Pelayan itu menghidangkan Cappucinno, lalu mengeluarkan korek dari saku baju. “Terima kasih”. Hadi lekas menyalakan rokok.
“Jangan sungkan. Sendirian saja? Mana temannya?”
“Ah, tidak ada. Datang sendiri sekadar ingin buang suntuk.”
Pelayan itu tersenyum, lalu melengos ke belakang. Tinggal Hadi yang duduk sendiri sambil mengetuk-ngetukkan jari tangan di papan meja, mimik wajahnya berangsur-angsur serius, banyak pikiran di kepala: rutinitas perkuliahan, uang saku bulanan, gaya hidup kawan-kawan baru, schedule organisasi, senyum tipis seorang gadis, larik-larik puisi, cuaca hari ini yang berhujan, dan… telepon genggam tiba-tiba berdering.
“Ya, Hadi di sini.”
Wajahnya berubah sumringah. Senyumnya mekar seperti kembang baru disiram.
“Shinta…”
Sosok gadis kampung itu kembali muncul di benak Hadi. Rambut hitam terurai, mata bening kristal, bibir ranum pepaya, wajah yang kerap tertunduk malu-malu, kerudung kuning yang rajin dipakai bila ada pengajian di sebuah langgar …
“Lama tidak dapat kabar darimu.”
Ia menghisap rokok dengan tenang, tangannya dengan cekatan menyambar gagang cangkir Cappuccino.
“Bagaimana ayah dan ibumu di rumah? Sehat-sehat saja, kan? Alhamdullilah. Iya, ya. Tentu. Aku akan selalu menjaga kesehatanku. Kamu juga.”
Hadi tersenyum-senyum sendiri. Ada kehangatan yang terasa menyusup di hati.
“Hahaha… rupanya kamu masih terkenang-kenang pada masa kecil kita. Aku juga. Dulu kamu itu cengeng betul, mudah sekali menangis.”
Di kepala Hadi, beberapa kenangan apik kembali berkelindan: berburu katak di sawah, lempar-lemparan tanah lempung, bermain layang-layang berdua di punggung bukit ilalang, bersama menikmati senja dari gubuk bambu di tepi kebun pisang.
“Hmm… kabarku di sini baik-baik saja. Kemarau di kota ternyata jauh lebih panas, gerah aku dibuatnya. Untung hari ini sudah turun hujan. Deras sekali”.
Hadi mengusap-ngusap rambutnya yang kusam. Terik matahari belakangan ini sudah menyulap rambutnya jadi kemerah-merahan.
“Wah! Senang juga aku bila kamu sudah berkerja. Di mana? Di toko baju pamanmu? Gajinya pasti lumayan! Iyalah. Jaman begini memang susah cari kerja.”
Cafe masih sepi. Hadi melirik jam tangan. Jarumnya tidak bergerak lagi. Ia pun mencopot jam tangan kesayangannya itu, mengamat-ngamatinya dari beberapa sisi.
“Oh, iya, ya. Aku masih di sini.”
Hadi tergagap dan lekas meletakkan jam tangannya di atas meja.
“Siapa? Tanton? Tanton mana? O, Si Anton. Memangnya ada apa? Dia juga berkerja di sana? Hahaha.. gimana kabarnya? Sudah bisa naik sepeda?”
Hadi teringat pada Anton, teman sebangkunya di kelas 2 SMA. Shinta pun cerita panjang-lebar tentang kedekatannya dengan Anton kini. Selain berkerja di tempat yang sama, Anton juga rajin berkunjung ke rumahnya, atau mengajak Shinta jalan-jalan sore di sekitar waduk besar di kampung mereka. Mendengar itu, beberapa saat Hadi tidak berucap. Shinta dibuat bingung, menduga hubungan telepon terputus.
“Ah, tidak apa-apa. Baguslah. Setelah lulus, kalian bersama kembali.”
Ia kembali memandang ke luar jendela. Langit mulai gelap. Dari arah pintu, muncul perempuan tambun dengan tas kecil coklat muda, lalu duduk di sebelah meja Hadi.
“Ciyee.. makin lengket nih. Hahaha….”
Hadi tertawa lebar meski iramanya terdengar datar. Perempuan tambun tadi menatap tajam ke arahnya. Matanya besar sekali. Hadi sedikit memelankan suara.
“Apa? Sudah …?”
Sekonyong-konyong dada Hadi terasa amat senyap.
“Uhuk..uhuk.. Ah, tidak apa-apa. maklum, pergantian musim sering menyebabkan wabah penyakit. Demam berdarah, batuk, influenza, itu biasalah.”
Hadi terbatuk-batuk meski ia sehat-sehat saja. Cuma entah kenapa dadanya jadi susah bernafas. Jantungnya seperti mau pecah.
“Hmm.. Anton itu anak baik-baik. Tidak suka berbuat aneh-aneh. Tentu aku tahu, aku sudah kenal dengannya sejak SMP. Bagus, bagus, kamu boleh percaya padanya.”
Sepertinya ia turut senang, sepertinya ia turut mendukung, sepertinya ia bingung mau bilang apa lagi.
“Kuliahku? Lancar-lancar saja. Amin. Pasti lulus tepat waktu. Ya, baru semester 2.”
Hadi enggan bercerita banyak tentang perkuliahannya, ia tak suka membagi persoalannya pada siapa-siapa. Termasuk pada Shinta, teman kecilnya itu, idaman hati sepanjang waktu, tambatan kasih di masa lalu. Yang pasti, sebagai anak sulung, harapan keluarga tertumpu di pundak kurusnya. Kedua adiknya perempuan semua. Masih kecil-kecil pula. Si pelayan terlihat menghidangkan pesanan di meja sebelah.
“O, begitu ya? Syukurlah, teman-teman dulu ternyata banyak juga yang sempat pulang kampung. Hmm.. kalau liburan kali ini, aku belum bisa agaknya. Nantilah, mungkin liburan tahun depan.”
Hadi tersenyum tipis. Kini ia tinggal di kota, jauh dari kampung halaman, melanjut ke bangku perkuliahan demi cita-cita dan tuntutan keluarga.
“Siplah! Aku tunggu kabar berikutnya. Aku senang kamu masih ingat padaku. Waalaikumussalam.”
Hadi menutup telepon genggamnya. Ia batuk sekali lagi. Dilihatnya kafe semakin sepi. Sepasang kekasih dan lelaki muda yang membaca koran itu sudah pergi. Ibu tambun tadi masih asyik bersantap ayam goreng beberapa porsi.
Ia lekas berdiri dan membayar Cappuccino-nya di kasir. Tangannya yang kurus terlihat kikuk sewaktu merogoh kocek di saku celana. Kasir cantik berdasi kupu-kupu itu tersenyum simpul melihat gelagatnya. Ketika Hadi meninggalkan cafe itu, si pelayan segera membereskan meja di mana Hadi tadi duduk. Pelayan itu berkerut kening sambil mengelus-ngelus kumis, ada jam tangan yang tertinggal di meja, jarumnya tidak berjalan lagi. Karena hujan juga, barangkali.
Hari semakin gelap. Lampu-lampu jalan sudah dinyalakan. Hadi menyeret langkahnya menyusuri trotoar bersama orang-orang asing yang sudah barang tentu punya kesibukan masing-masing. Kebanyakan toko sudah tutup, giliran lesehan dan warung gerobak yang menggelar dagangan. Mobil dan motor ramai berseliweran dengan sorot lampu yang menyilaukan mata.
Langkah Hadi terhenti di atas jembatan penyebrangan. Hatinya berasa amat tidak enak. Ia pun bersandar di pagar jembatan. Seorang bocah pengemis melintas sambil heran menatapnya. Muka Hadi tampak pucat, tubuh berkeringat dingin. Matanya memandang kosong langit gelap yang maha luas. Di mana sinar bulan? Di mana gemerlap bintang-bintang? Di mana kehadiran Shinta ketika sepi menusuk hati, berasa sendiri di hiruk-pikuk kota, terjerembab dalam perburuan cita-cita demi bakti pada keluarga… telepon genggam tiba-tiba berdering. Sebuah pesan masuk:
Cpat pulng! Itu ibu kos nyariin kamu dari tdi sore. Nunggak lgi ya? ;-)
***
Seorang anak dengan ingus meleler asyik menyeret mobil-mobilan di lantai beranda rumah. Mulutnya sibuk menirukan bunyi-bunyian rem yang ditekan atau mobil yang tancap gas. Di kursi beranda, ada lelaki paruh baya bersarung coklat yang sedang menikmati teh tubruk dalam cangkir. Matanya kagum memandang langit sore yang terang-benderang, menyuguhkan sinar cemerlang kekuningan, terpancar dari matahari yang turun ke cakrawala barat, berkilau keemasan di permukaan empang, mengecoh perkiraan orang tentang waktu maghrib, sore yang sinarnya kadang terpancar pula pada mata gadis belia yang duduk-duduk menunggu pembeli di sebuah toko baju persis di depan rumah itu.
“Ngeng..ngeng..citt…citt..citt.. Ayah, awas! Truk mau lewat! Remnya blong!”
Anak tadi menyeret mobilannya melewati kaki lelaki paruh baya itu.
“Jangan main-main di sini! Shinta! Shinta! Ajak Reno main di depan sana!”
Paman merasa kekhusukannya merenungkan sore terganggu oleh ulah Reno. Shinta pun beranjak dari kursi, melambai-lambai pada Reno. Reno menoleh, lalu berlari-lari kecil dan menghambur ke pelukan Shinta.
“Duh, anak manis, anak cakep, anak manja, jarang naik kelas, jarang nurut perintah orang tua, ingusnya rajin dibersihin dong!”
“Bersihin geh! Ibu lagi antri minyak tanah, Reno ditinggalin begitu saja.”
“Iya, ya. Huh… dasar, sudah gede kok masih ngandelin ibunya.”
Shinta mengeluarkan tissue dari saku baju, lalu mengelap ingus Reno.
“Mana Kak Anton?”
“Masih di jalan”.
“Sepedanya pecah ban lagi?”.
“Bukan. Dia tadi kondangan dulu ke pesta pernikahannya Kak Amir.”
“Kak Amir yang sukses jadi tentara itu ya?”
“Bukan, kerjanya itu hansip.”
“O, pantes nggak punya pistol. Hahaha… ”
Shinta mencubiti pipi Reno. Reno memain-mainkan rambut Shinta. Anak kecil saja tersihir akan kelembutan helai-perhelainya. Apalagi angin semilir.
“Reno, mainannya cepat diberesin! Sebentar lagi Ibu pulang lho! Bawa kue lapis,” Paman menyeru ke Reno setelah membuka pesan pada telepon genggamnya.
“Ibu udah mau pulang ya, Ayah? Ya udah, Reno beresin deh!”
Reno pun berlari ke beranda. Shinta geli melihat kelakuan sepupunya itu. Ia lalu kembali melihat-lihat daftar pembeli di buku catatan, hmm.. sudah 23 orang hari ini.
Anton muncul dengan mengendarai sepeda jengkinya, banyak lumpur yang lengket di ban. Setelah merapatkan sepedanya ke dinding, Anton memberi salam pada Paman, hanya saja Paman seperti tak mendengar. Tak menyahut. Tak beringsut dari lamunan. Paman serius betul menatap langit sore, menunggu ‘pencerahan’ barangkali.
“Assalamualikum, Shinta. Jalanan becek. Nggak nyangka, hujan kemarin deras juga.”
“Waalaikumussalam. Iya, genangannya di mana-mana. Mari, duduk dulu.”
Shinta mengambilkan kursi satu lagi, mereka duduk berdampingan di depan toko; mengobrol lepas, menunggu pembeli, memandang langit terang sore hari.
“Banyak pembeli hari ini?”
“Lumayan dibandingkan kemarin. Gimana pernikahannya Amir? Ramai undangan yang datang? Aku menyesal tidak bisa hadir kali ini.”
“Ramai sekali. Aku saja kepayahan masuk ke dalam tarub, berdesak-desakan terus.”
“Hahaha… makanya lain kali datang lebih awal dong!”
Shinta tertawa renyah. Bibirnya melengkung indah. Anton hanya mengelus rambut tipisnya dan membenahi kerah baju. Kenecisan pemuda ini benar-benar terjaga.
“Oh ya, mau tahu nggak? Aku tadi ketemu Yudi, Lina, Anggoro, dan Lili. Ternyata mereka masih tinggal di sekitar kampung ini. Kok bisa jarang ketemu ya?”
“Sibuk juga mungkin. Gimana kabar mereka sekarang?”
“Kalau Yudi, ia sekarang buka bengkel di Pasar Baru. Kalau Lina, ia masih nganggur, tapi bulan depan rencananya mau berangkat ke Malaysia. Jadi TKI.”
“Anggoro dan Lili?”
“Mereka kan sudah pacaran sejak SMA kelas 1, jadi kabarnya bakal nyusul bulan Agustus tahun ini. Kebetulan Anggoro sudah honor di kantor kepala desa.”
Anton tersenyum membayangkan perkembangan terakhir kawan-kawannya itu. Di kampung mereka, sudah jadi kebiasaan untuk kawin muda. Perhitungannya sederhana sekali; suka sama suka dan ada restu dari kedua orang tua. Kalau urusan pekerjaan tetap, mendirikan rumah, atau membeli susu buat anak, itu selalu belakangan.
Reno tiba-tiba menghambur di antara mereka, melompat ke pangkuan Shinta. Obrolan yang mulai asyik itu buyar lagi. Anton jadi kikuk, Shinta salah-tingkah. Untung Paman buru-buru memanggil Reno. Paman sadar betul, anaknya itu nakal sekali, suka menarik-narik baju atau meninju perutnya Anton. Setelah Reno kembali masuk rumah, Anton baru bernafas lega. Shinta cuma mesam-mesem saja dibuatnya.
“Sore ini langit terang-benderang ya?”
Anton berusaha mencairkan suasana.
“Iya. Sore ini terang sekali”.
“Padahal kemarin sore hujan turun deras sekali.”
He-eh, deras sekali.”
“Kemarau tahun ini panjang juga. Sawah-sawah petani sudah banyak yang puso. Alang-alang di punggung bukit saja sudah ranggas semua. Padahal sedari kecil aku paling suka melihat hijaunya dari kejauhan”.
Mendengar ucapan Anton, Shinta kembali teringat kembali akan Hadi, teman kecil yang dulu sering mengajaknya bermain layang-layang di atas perbukitan itu.
“Semoga musim hujan ini banyak membawa berkah bagi kampung kita ya, Shinta.”
“Amin.”
Mereka kembali diam. Anton seperti sedang serius memikirkan sesuatu. Entah apa. Shinta sendiri masih terbayang-bayang akan Hadi: teman sedari kecil yang biasa mengisi hari-hari Shinta dengan keceriaan, yang rutin memberinya kejutan-kejutan puitis, dan yang tahu betul bagaimana bikin Shinta bahagia. Ah, kalau saja Hadi tak pergi ke kota setelah lulus SMA, kalau saja Hadi tak meninggalkannya, kalau saja… ah, kini itu semua tinggal kenangan belaka. Tiba-tiba Anton berdehem dua kali.
“Mau minum?”
Shinta tersadar dari lamunan. Ia pun menawari Anton untuk minum. Anton cuma menggangguk. Di jalanan, seorang bocah melintas menunggangi seekor sapi.
“Sebentar ya, aku ambilkan dulu di dalam.”
Shinta beranjak ke dalam rumah mengambilkan segelas air putih. Di dapur, lagi-lagi ia melamunkan Hadi; sosok yang bertahun-tahun lengket di hati, pandai menghibur dengan humor-humor segar. Suatu kebersamaan yang indah. Shinta selalu tersenyum-senyum sendiri setiap kali terkenang rambut Hadi yang jarang disisir, baju yang tak pernah rapi, atau celananya yang bolong-bolong. Ah, sekarang Hadi sudah jauh di kota, bahkan tak sempat pamit padanya waktu berangkat ke kota.
Shinta duduk lagi di samping Anton. Anton minum dengan senangnya. Mereka berdua kembali diam. Sepasang burung gereja menclok di rumput halaman.
“Shinta, aku mau bicara sesuatu. Mungkin sudah waktunya kita membahas hal ini.”
“Tentang apa?”
Anton tidak segera menjawab. Dahinya berkeringat. Shinta dengan sabar menunggu, belasan detik sudah berlalu.
“Kita sudah setengah tahun bersama, sudah saling mengerti dan berbagi.”
Shinta tertunduk malu. Ada apa gerangan Anton menuturkan hal itu? Pikir Shinta menduga-duga. Suasana agak sedikit tegang. Sore masih terang, masih banyak waktu.
“Aku ingin kita lebih serius.”
“Maksudmu?”
“Kupikir, sudah waktunya aku melamarmu. Bagaimana?”
Shinta terhenyak oleh pernyataan Anton. Ia hanya diam sambil meremas-remas jari tangan. Anton mendesak. Shinta tergugup. Bayangan Hadi seperti melintas di depan matanya. Ah, hingga kini ia masih terbayang-bayang pada teman kecil satu itu. Kenapa Hadi tega meninggalkannya, tanpa pamit pula.
Kini di kampung ia merasa begitu sendiri, sepanjang hari hanya disibukkan untuk melayani pembeli. Tak ada lagi yang tekun menggodanya dengan humor-humor segar. Anton? Anton itu terlalu kaku, susah bercanda. Sikapnya sangat serius. Hanya karena ia setia menemani Shinta yang membuat Shinta berkenan menerimanya.
Shinta menghela nafas berat, pikirannya lelah sudah. Sinar matanya redup sudah. Kini Hadi sudah tak lagi di sisi. Bahkan Hadi pun sudah jauh lebih bahagia di kota; kuliah lancar, banyak teman, seperti yang dikatakannya dalam telepon kemarin. Mungkin Hadi sudah lupa padanya. Mungkin Hadi sudah betah tinggal di sana. Shinta tak ingin mengganggunya lagi, pun tak mungkin menunggunya lagi.
***
Hadi mengamati wajahnya di cermin. Raut wajahnya amat suram. Hadi masih muda, 19 tahun lebih beberapa bulan, usianya tidak setua seperti yang tampak. Namun entah kenapa makin hari ia makin tidak mengenali bayangan sendiri di cermin.
Tidak, ujarnya dalam hati. Ia mesti kembali pada masanya, masa kini, masa muda yang bergelora dengan semangat yang tumbuh-kembang dan berbunga. Bukan di masa depan yang masih bergelayut di angan-angan, bukan pula di masa lalu yang penuh kenangan manis: Shinta, bukit beralang, juga angin sejuk di kebun pisang. Kini di kota ia malah jadi memprihatinkan: kantong seret, tagihan listrik kos-an, gebalau cinta di masa lalu, lamunan kosong belaka, juga penampilan yang makin kusut saja.
Maka wajar bila raut wajahnya jadi lebih tua dan suram, fisiknya terpengaruh, selama ini pikiran Hadi terombang-ambing dalam gelombang kenangan dan cita-cita besar.
Aku tidak lagi hidup di masa lalu, aku hidup di kenyataan, pikir Hadi kali ini. Tak ada pilihan lain selain mencintai kenyataan. Ia pun lekas membasuh wajah, menyisir rambut, menggosok pakaian, tak lupa menunaikan sholat asar. Ya, dalam keterpurukan paling ’sederhana’ (jiwa rapuh, pikiran keruh, tubuh lusuh), cuma Dia yang setia mengulurkan cahaya ke relung batin manusia untuk memulai perubahan.
Pukul empat sore. Hadi teringat akan janji dengan Mely, teman kuliah, di kafe tempat ia biasa mangkal sore hari. Hadi pun segera mengambil tasnya, lalu keluar dan mengunci pintu kamar. Sore-sore begini, Ibu kos pasti belum pulang dari kantor tempatnya berkerja, jadi aman-aman saja bila Hadi keluar tanpa mesti diomeli dulu belasan menit oleh Ibu kos. Toh, sehabis magrib ia pasti sudah kembali.
Hadi menapaki trotoar dengan ringan, selalu tersenyum setiap kali berpapasan dengan orang-orang. Mobil-mobil yang sibuk berjejalan di jalanan, tak lagi dikeluhkannya. Awan mendung di langit, angin ribut yang mengoyang-goyang kabel listrik, tak lagi membuatnya panik. Kakinya ringan melangkah, hatinya terang-benderang meski sore kali ini bukan sore yang diidam-idamkan penyair atau fotografer pemburu langit senja merah tembaga. Tak lama, tiba juga ia di kafe yang berjarak kurang dari satu kilometer dari kos-an. Dari pintu, Hadi melihat Mely yang sudah menunggu di meja tengah, sedang membaca-baca buku. Meja-meja lain sudah penuh oleh pengunjung.
”Hai! Sudah lama?” Hadi menepuk pundak Mely.
” Ups! Baru saja. Tumben dateng on-time. Kok rapi hari ini? Kesurupan jin ya?”
Hadi nyengir dibuatnya, lalu duduk dan memanggil si pelayan. Pelayan itu hanya mengangguk-ngangguk karena masih sibuk melayani pengunjung lain.
”Sore ini ramai juga ya?”
”Iya. Untung saja kita masih kebagian meja. Oh ya, mana tugas kita? Coba kulihat!”
Hadi membuka tas dan menyerahkan beberapa lembar kertas tugas pada Mely. Mely terlihat senang. Ia membaca dengan lagak seorang dosen yang memeriksa kertas ujian. Si pelayan tergopoh-gopoh menghampiri mereka, lalu menyodorkan menu saji. Seperti biasa, Hadi memesan cappucino, sedangkan Mely memesan mie ayam.
”Boleh juga. Ini baru lengkap datanya. Pak Jhon pasti senang nih dengan hasil tugas dari kelompok kita. Sip deh! Semalam pasti lembur ya? Sistem kebut semalam ya?”
”Nggaklah! Ini sudah kukerjakan seminggu lalu. Nggak pake tunda… Kan sudah dewasa? Belajar menerima segala situasi dan bekerja dengan lebih rapi-mandiri!”
”Huh.. dasar filsuf kontemporer! Paling-paling besok sudah ngawur lagi. Hahaha…”
”Hmm.. itu masa lalu. Sudah berlalu. Kita kan tinggal di kenyataan? Hahaha…”
Mely memukul lengan Hadi dengan gemas. Dia tahu betul, mendung di luar, gerimis sore di jalanan, belum cukup untuk jadi alasan bagi teman karibnya itu untuk berubah secepat ini. Mendadak sekali. Pasti ada alasan lain. Tapi entahlah, semoga optimistis Hadi tidak hari ini saja, pikir Mely. Si pelayan lalu muncul dan menghidangkan pesanan mereka. Sebelum ke belakang, pelayan itu menunjukkan sesuatu pada Hadi.
”Ini jam tanganmu. Tertinggal dua minggu yang lalu.”
“Astaga! Terima kasih, Pak! Saya sudah mencari-carinya tapi tidak juga ketemu.”
“Jaga dan gunakan baik-baik. Jam tangan bisa kembali, tapi waktu tidak mungkin.”
Hadi terperangah mendengar ucapan spontan pelayan paruh baya itu. Seorang pelayan, bukan dosen filsafat atau guru-guru Zen dari Beijing. Ia pun tersenyum-senyum sendiri. Wajahnya tambah cerah lagi. Senyum yang sama juga ketika ia membaca pesan dari Shinta di telepon genggamnya satu minggu lalu: Mohon doa-restunya ya! Semoga kami diberkati Tuhan untuk menjadi keluarga yang mawadah, sakinah, dan warohmah. Amin. Ttd: Shinta-Anton yang berbahagia di kampung.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "cerita-cerita sore hari"

Post a Comment